SANKSI
FIFA TERHADAP (TINJAUAN DARI SISI HAK PEMAIN DAN PENONTON SEPAK BOLA)
Kegaduhan
sepakbola Tanah Air meninggalkan cerita mengenaskan di kalangan industri mulai
dari pemain, pelatih, perangkat pertandingan hingga generasi muda yang
impiannya hancur lantaran gagal bertanding.
Sehari
menjelang dimulai kursus, 30 Mei 2015 FIFA melayangkan sanksi kepada PSSI bahwa
hak-hak anggota dicabut karena pemerintah melakukan intervensi dengan pembekuan
organisasi sepakbola itu. Alhasil kusrus kepelatihan terpaksa ditutup karena
tidak bisa melaksanakan.
Padahal,
sebagian besar pemain menggantungkan hidupnya pada kompetisi sepak bola. Kalau
mau dilihat lebih jauh lagi, keluarga para pemain pun menggantungkan hidup
kepada pada roda kompetisi. Dampak sanksi FIFA hingga penghentian kompetisi
membuat nasib puluhan ribu orang juga tak menentu. Belum lagi jika
menghitung nasib wasit, ofisial, perangkat pertandingan, maupun pihak lain yang
berhubungan dengan kompetisi tersebut. Pemerintah harus melihat bahwa puluhan
ribu orang terdampak dengan berhentinya kompetisi ini. Bola ada di pemerintah
karena pembekuan induk Organisasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) dilakukan oleh
pemerintah.
Artinya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus mempunyai solusi bagi puluhan ribu orang tersebut. Memang mereka berjanji akan membuat kompetisi yang lebih baik dari kompetisi sebelumnya. Tapi, itu membutuhkan waktu yang panjang, sedangkan hidup puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut tidak bisa menunggu waktu yang panjang. Pun dengan janji Kemenpora menggelar kompetisi Piala Kemerdekaan itu belum menjadi solusi konkret dan permanen untuk menjamin puluhan ribu individu yang terdampak. Jika janji menggelar kompetisi lebih baik itu adalah solusi jalan panjang yang masih membutuhkan proses panjang. Padahal, puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut butuh solusi jangka pendek yang cepat. Apakah pemerintah cukup mengatakan, seluruh pemain harus bersabar dan menunggu kompetisi yang dijanjikan akan bergulir. Tentu tidak. Hal lain yang pantas dicermati, apakah kompetisi yang dijanjikan pemerintah nanti bisa menjamin posisi para pemain lebih baik?
Artinya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) harus mempunyai solusi bagi puluhan ribu orang tersebut. Memang mereka berjanji akan membuat kompetisi yang lebih baik dari kompetisi sebelumnya. Tapi, itu membutuhkan waktu yang panjang, sedangkan hidup puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut tidak bisa menunggu waktu yang panjang. Pun dengan janji Kemenpora menggelar kompetisi Piala Kemerdekaan itu belum menjadi solusi konkret dan permanen untuk menjamin puluhan ribu individu yang terdampak. Jika janji menggelar kompetisi lebih baik itu adalah solusi jalan panjang yang masih membutuhkan proses panjang. Padahal, puluhan ribu orang terdampak sanksi FIFA tersebut butuh solusi jangka pendek yang cepat. Apakah pemerintah cukup mengatakan, seluruh pemain harus bersabar dan menunggu kompetisi yang dijanjikan akan bergulir. Tentu tidak. Hal lain yang pantas dicermati, apakah kompetisi yang dijanjikan pemerintah nanti bisa menjamin posisi para pemain lebih baik?
Selama
ini, harus diakui, dalam kompetisi-kompetisi sebelumnya para pemain hanya
menjadi objek dari gelaran sepak bola di Tanah Air. Mereka seolah menjadi objek
dari klub maupun penyelenggara kompetisi untuk meraup untung baik materi maupun
nonmateri. Padahal, layaknya sebuah kompetisi profesional, pemain adalah
subjek, bukan objek.
Sanksi
FIFA ditanggapi dalam berbagai pandangan. Umumnya para pencinta sepakbola
sangat menyayangkan dengan keluarnya sanksi FIFA tersebut oleh karena yang rugi
adalah kita sendiri. Tanggapan yang sangat ekstrim antara lain adalah
menyesalkan mengapa Menpora Imam Nahrowi tidak mencabut surat keputusan
pembekuan PSSI sebelum tenggat waktu yang diberikan FIFA yaitu 29 Mei 2015
lalu.
Sanksi
FIFA terhadap Indonesia mempunyai implikasi yang sangat luas. Beberapa
konsekuensi dari sanksi FIFA adalah bahwa PSSI kehilangan hak-haknya
sebagai anggota FIFA, seperti tertera dalam statuta FIFA pasal 12
ayat 1. Selain itu, semua tim sepakbola Indonesia, baik tim Nasional
maupun klub-klubnya dilarang berhubungan keolahragaan dengan anggota
FIFA yang lain termasuk AFC (Konfederasi Sepakbola Asia). Juga termasuk
larangan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA dan
AFC, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14 ayat 3. Aspek lain adalah bahwa
PSSI dan para offisialnya tidak akan memperoleh hak terkait program-program
pengembangan FIFA, serta pelatihan-pelatihan selama masa berlakunya sanksi.
Kalau
ditelaah secara mendalam, makna dari sanksi FIFA terhadap Indonesia sangat
besar dan luas. Artinya, kerugian yang kita alami sangat besar. Kehilangan hak
untuk mengikuti pertandingan internasional berarti peluang pemain-pemain kita
baik klub maupun tim Nasional untuk meningkatkan kualitas sudah tidak ada
lagi. Kompetisilah yang membuat para pemain sepakbola menjadi lebih
berkualitas. Dengan bertanding melawan tim-tim dan klub-klub bermutu akan
banyak pelajaran yang diperoleh para pemain kita.
Kerugian
dalam aspek bisnis juga sangat besar. Apalagi dengan dibekukannya PSSI maka
dana sponsor tidak akan mengalir. Sementara dana bantuan pengembangan sepakbola
FIFA otomatis akan distop. Kerugian ini mempunyai efek berantai, mulai dari
pemain, klub, karyawan klub, pengelola dan karyawan lapangan, wasit dan juru
garis, bahkan sampai penjaja makanan yang selalu siap saat pertandingan
sepakbola berlangsung. Bagaimana dengan sponsor? Jelas dana akan disalurkan ke
sektor lain. Tentu saja sponsor juga akan rugi dengan kondisi seperti ini.
Alhasil, tidak ada yang untung.
Ketua
Dewan Kehormatan PSSI, Agum Gumelar, meminta pemerintah mempertimbangkan
kembali kebijakan pembekuan kegiatan organisasi sepak bola nasional tersebut.
"Saya
melaporkan kepada bapak Presiden bahwa kondisi pascakeluarnya sanksi dari FIFA
ini sangat memprihatinkan dunia sepak bola nasional," kata Agum Gumelar
seusai diterima Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Presiden Jakarta, Senin
(8/6).
Mantan
ketua PSSI menambahkan, "Atas kondisi seperti ini kami mengerti dan saya
rasa ini adalah keinginan yang mulia kalau pemerintah menginginkan pembinaan
sepak bola nasional harus diperbaiki dan dibenahi. Pembenahan total. Itu kami
mengerti sekali dan menghormati sekali."
Namun,
Agum meminta agar pola yang dilakukan tidak dengan membekukan PSSI, tetapi
langkah bersama antara pemerintah dan komunitas sepak bola nasional memperbaiki
kekurangan yang ada. "Jadi kami menyarankan kita benahi persepakbolaan
nasional, tapi PSSI harus aktif kembali. Karena kompetisi harus jalan. Tanpa
kompetisi tidak ada pembinaan. Dan, kompetisi menyangkut hajat hidup masyarakat
banyak, juga jadi hiburan rakyat. Kalau ini ditiadakan ini akan sangat
merugikan, terutama dalam proses pembinaan sepak bola," katanya.
Namun
itu juga, kata Agum, harus diawali dari klub-klub yang tergabung dalam PSSI.
"Tapi itu pun harus inisiatif dari klub, karena yang mendirikan PSSI
adalah klub. Jadi saya mohon pembenahan harus kita lakukan. Setuju dengan
pemerintah, tapi PSSI harus diaktifkan kembali. Itu saya sarankan pada Bapak
Presiden, agar sepak bola nasional bisa normal kembali," kata Agum Gumelar.
Selama masa hukuman, PSSI kehilangan hak-hak keanggotaan mereka di FIFA. Selain
itu, semua kesebelasan Indonesia (tim nasional atau klub) tidak dapat terlibat
dalam kontak olah raga internasional. Hak-hak yang hilang dan larangan yang
berlaku termasuk hak untuk ikut serta dalam kejuaraan FIFA dan AFC (Asian
Football Confederation, Federasi Sepakbola Asia).
Hukuman
yang dijatuhkan FIFA tidak hanya membatasi hak-hak kesebelasan. Anggota dan
pengurus PSSI juga tidak dapat terlibat, termasuk sebagai peserta, dalam setiap
program pengembangan bakat, kursus, atau pelatihan yang diselenggarakan FIFA
maupun AFC.
Secara
khusus, dalam surat keputusannya, FIFA menyoroti keikutsertaan tim nasional
Indonesia di South East Asean Games 2015 (SEA Games 2015) di Singapura.
Mengingat hal ini termasuk kontak olahraga internasional, tim nasional
Indonesia seharusnya tidak dapat ikut serta di cabang olahraga sepakbola SEA
Games 2015. Namun FIFA memberi pengecualian. Tim nasional Indonesia dapat ikut
serta di SEA Games 2015.
“Secara
khusus dan tidak berhubungan dengan hukuman, Komite Eksekutif FIFA telah
memutuskan bahwa tim nasional Indonesia dapat meneruskan keikutsertaan mereka
di SEA Games hingga keikutsertaan mereka berakhir,” bunyi pernyataan FIFA di
surat resmi yang mereka keluarkan mengenai penjatuhan hukuman terhadap PSSI.
Sebagai
catatan, pertandingan-pertandingan di cabang olahraga sepakbola SEA Games tidak
termasuk dalam agenda FIFA sehingga hasil pertandingan-pertandingannya tidak
akan memengaruhi peringkat Indonesia di ranking FIFA dan, karenanya, tidak
menjadi kewenangan FIFA juga melarang Indonesia ikut serta di SEA Games.
Suporter
sepak bola Indonesia sepertinya harus kembali menelan pil pahit. Pasalnya,
Indonesia mendapatkan sanksi dari Konfederasi Sepak Bola Asia atau AFC. Sanksi
tersebut merupakan buntut dari aksi berlebihan yang dilakukan oleh penonton. AFC
menilai bahwa aksi yang dilakukan pada 2 laga pertandingan kualifikasi Piala
AFC U-23 yaitu melawan Timor Leste dan Korea Selatan sangat berlebihan. Hal
tersebut tetap tidak diperkenankan walaupun saat itu Indonesia menjadi tim tuan
rumah. Aksi berlebihan yang dimaksud oleh pihak AFC adalah aksi menyalakan
kembang api. Walaupun sepertinya sepele dan sering dilakukan, namun pada ajang
AFC supporter memang tidak diperkenankan untuk menyalakan kembang api. Buntut
dari aksi berlebihan tersebut, tim Garuda harus rela bermain tanpa supporter
pada dua pertandingan Pra-Piala Dunia dan Kualifikasi Piala Asia. Itu artinya,
laga tim Indonesia melawan Irak yang akan dilakukan pada 16 Juni 2015 mendatang
akan digelar tanpa supporter. Selain itu, Pada laga kandang kontra Thailand
yang akan dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2015, Indonesia juga kehilangan hak
kandangnya karena dinyatakan bermain di tempat netral. Parahnya lagi,
keikutsertaan Indonesia dalam 2 ajang tersebut juga masih tidak jelas. Hal ini
erat kaitannya dengan kondisi perseteruan antara pemerintah dan PSSI yang masih
terus memanas. Selain itu, tim transisi yang sedianya bertemu dengan petinggi
FIFA pada tanggal 25 Mei 2015 harus dibatalkan. FIFA telah membahas mengenai
pertemuan tim transisi dengan pihaknya. Mereka membalas melalui facsimile dan
menyatakan penyesalannya karena harus membatalkan pertemuan tersebut. Alasan
pembatalan pertemuan tersebut adalah karena pada tanggal tersebut diadakan
Kongres FIFA. Namun, dalam surat tersebut FIFA juga menekankan pihak pemerintah
Indonesia untuk segera membatalkan sanksi pembekuan PSSI. FIFA memberikan
tenggat waktu hingga tanggal 29 Mei 2015. Jika masalah PSSI tersebut belum bisa
diselesaikan, maka pihak FIFA akan memberikan sanksi kepada Indonesia. Jika pada
kongres umum nanti tiga perempat dari anggota setuju untuk menjatuhkan sanksi,
maka Indonesia sudah pasti akan mendapatkan sanksi sesuai dengan Statuta FIFA
pasal 14. FIFA memang akan melakukan kongres umum di Zurich pada tanggal 28 Mei
hingga 29 Mei 2015 mendatang.
Lalu,
apa yang diharapkan oleh pemain tim Indonesia U-23 kepada para supporter
terkait dengan sanksi yang diberikan serta ketidakjelasan keikutsertaan
tersebut? Kapten tim nasional Indonesia U-23 menyatakan jika Indonesia jadi
berlaga dua ajang tersebut, maka timnya berharap bahwa supporter Indonesia bisa
memenuhi Gelora Bung Karno saat berhadapan dengan Brunei Darussalam. Manahati
Lestusen menyatakan bahwa dukungan supporter sangat penting dan kehadiran
mereka membuat tim Indonesia menjadi semangat dan senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar